LAPORAN PENDAHULUAN (LP)
1. DEFINISI
a.
Artritis rheumatoid adalah
suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan manifestasi utama poliartritis
progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada
pasien-pasien arthritis rheumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang
lebih lanjut sesuai dengan sifat progresivitasnya (Mansjoer,dkk, 2002).
b.
Penyakit rematik yang
sering disebut arthritis (radang sendi) adalah penyakit yang mengenai otot-otot
skelet, tulang, ligamentum, tendon dan persendian pada laki-laki maupun wanita
dengan segala usia (Smeltzer, 2002).
c.
Artritis rheumatoid
adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun manifestasi
utamanya adalah poliartritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga
melibatkan seluruh organ tubuh. Pada umumnya selain gejala artikuler, AR dapat
pula menunjukan gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah, atau
gangguan organ nonartikuler lannya (Sjaifoellah, 2004).
d.
Artritis rheumatoid
adalah gangguan autoimun sistemik, ditandai dengan adanya arthritis erosive
pada sendi synovial yang simetris dan kronis yang menyebabkan gangguan fungsi
yang berat serta kecacatan (Davey, 2005).
e.
Rematik adalah penyakit
inflamasi sistemik kronik (peradangan menahun) yang tidak diketahui penyebabnya,
dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi membrane synovial yang
menyebabkan kerusakan pada tulang sendi ( Rizasyah Daud, 1999).
f.
Rematik (arthritis
rheumatoid) adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai system organ yang
dipengaruhi oleh imunitas (kekebalan0 dan tidak diketahui penyebabnya dimana
terjadi destruksi sendi (kerusakan sendi) progresif ( Price & Wilson,
2006).
2. ETIOLOGI
a.
Faktor genetik
Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan
antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4
dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relative 4 : 1 untuk
menderita penyakit ini.
b.
Faktor lingkungan termasuk
infeksi oleh bakteri atau virus
Umumnya
onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh
gambaran inflamasi yang mencolok.
c.
Faktor hormone estrogen
Sering
dijumpai remisi pada wanita hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor
ketidakseimbangan hormonal estrogen.
d.
Faktor stress
Pada
saat stress keluar heat shock protein (HSP) yang merupakan sekelompok protein
berukuran sedang (60-90kDa) yang dibentuk oleh seluruh spesiaes pada saat
stress.
e.
Penuaan (usia 30-60 tahun)
Seiring
dengan bertambahnya usia, struktur anatomis dan fungsi organ mulai mengalami
kemunduran. Pada lansia, cairan synovial pada sendi mulai berkurang sehingga
pada saat pergerakan terjadi gesekan pada tulang yang menyebabkan nyeri.
f.
Inflamasi
Inflamasi
meliputi serangkaian tahapan yang saling berkaitan. Antibodi immunoglobulin
membentuk komplek imun dengan antigen. Fagositosis komplek imun akan dimulai
dan menghasilkan reaksi inflamasi (pembengkakan, nyeri serta edema pada sendi).
g.
Degenerasi
Degenerasi
kartilago artikuler disebabkan oleh gangguan keseimbangan fisiologis antara
stress mekanis dan kemampuan jaringan sendi untuk bertahan terhadap stress
tersebut. Kartilago artikuler maupun tulang dapat normal, tetapi beban (gaya
yang dihasilkan oleh berat tubuh) yang berlebihan pada sendi menyebabkan
jaringan tersebut gagal, atau beban pada sendi secara fisiologis masuh layak,
tetapi kartilago artikuler atau tulangnya tidak normal.
Kartilago
artikuler memainkan dua peranan mekanis yang penting dalam fisiologi sendi.
Pertama kartilago artikuler memberikan permukaan penahan beban yang licin
secara nyata, dan bersama cairan synovial, membuat gesekan (friksi) yang sangat
rendah dalam gerakan. Kedua, kartilago artikuler akan meneruskan beban atau
tekanan pada tulang sehingga mengurangi stress mekanis.
1)
Stress mekanis
Kartilago
artikuler sangat resisten terhadap proses pengausan dalam kondisi gerakan yang
berkali-kali. Ketika seorang berjalan, 3-4 kali berat tubuh akan ditarnsmisikan
melalui sendi lutut. Ketika sendi mengalami stress mekanis yang berulang,
elastisitas kapsula sendi, kartilago artikuler dan ligamentum akan berkurang.
2)
Lempeng artikuler (tulang
subkondrial)
Akan
menipis dan kemampuannya untuk menyerap kejutan menurun. Terjadi penyimpangan
rongga sendi dan gangguan stabilitas. Pada sat lempeng artiluker lenyap,
osteofit akan terbentuk di bagian tepi permukaan sendi dan kapsula serta
membrane synovial menebal. Kartilago sendi mengalami degenerasi serta atrofi
(mengeriput), tulang mengeras dan mengalami hipertrofi (menebal) pada permukaan
sendinya. Dan ligamentum akan mengalami kalsifikasi. Sebagai akaibatnya
terbentuk efusi sendi yang steril dan sinovitis sekunder.
3)
Perubahan pelumasan
Disamping
perubahan pada kartilago artikuler dan tulang subkondrial, pelumasan juga
merupakan faktor degenerasi. Bersama dengan beban sendi (gaya yang dipikul
lewat sendi), pelumasan bergantung pada lapisan tipis cairan intersisial yang
terpecah dari kartilago ketika terjadi kompresi antar permukaan sendi yang
berlawanan.
4)
Immobilitas
Degenerasi
kartilago akibat immobilitas sendi dapat terjadi akibat gangguan kerja
pemompaan lubrikasi yang terjadi pada gerakan sendi.
3. KLASIFIKASI
Buffer
(2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
a.
Rheumatoid arthritis klasik
pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
b.
Rheumatoid arthritis
defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
c.
Probable rheumatoid
arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
d.
Possible rheumatoid
arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang
harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
Jika
ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1)
Stadium sinovitis
Pada
stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai
hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat,
bengkak dan kekakuan.
2)
Stadium destruksi
Pada
stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada
jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3)
Stadium deformitas
Pada
stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas
dan gangguan fungsi secara menetap.
4.PATOFISIOLOGI
Sendi merupakan bagian tubuh yang paling
sering terkena inflamasi dan degenerasi yang terlihat pada penyakit rematik.
Inflamasi akan terlihat pada persendian sebagai sinovitis. Pada penyakit
rematik inflamatori, inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi yang
terjadi merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus
(proliferasi jaringan synovial). Inflamasi merupakan akibat dari respon imun.
Pada penyakit rematik degenerative dapat
terjadi proses inflamasi yang sekunder. Sinovitis ini biasanya lebih ringan
serta menggambarkan suatu proses reaktif. Sinovitis dapat berhubungan dengan
pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas dari kartilago artikuler yang
mengalami degenerasi kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat.
RA
merupakan manifestasi dari respon system imun terhadap antigen asing pada
individu2 dengan predisposisi genetic.
Suatu antigen penyebab RA yang berada pada
membrane synovial, akan memicu proses inflamasi. Proses inflamasi mengaktifkan
terbentiknya makrofag. Makrofag akan meningkatkan aktivitas fagositosisnya
terhadap antigen dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk
memproduksi antibody. Setelah berikatan dengan antigen, antibody yang
dihasilkan akan membentuk komplek imun yang akan berdifusi secara bebas ke
dalam ruang sendi. Pengendapan komplek imun ini akan mengaktivasi system
komplemen C5a.
Komplemen
C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permiabilitas
vaskuler, juga dapat menarik lebih banyak polimorfonukler (PMN) dan monosit kea
rah lokasi tersebut.
Fagositosi komplek imun oleh sel radang akan
disertai pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrin,
prostaglandin yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang. Radikal
oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal
oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Pengendapan komplek imun akan menyebabkan
terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan
histamine dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat
yang akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membrane synovial
dan akhirnya terbentuk pannus.
Masuknya sel radang ke dalam membrane
synovial akibat pengendapan komplek imun menyebabkan terbentuknya pannus yang
merupakan elemen yang paling destruktif dalam pathogenesis RA. Pannus merupakan
jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblast yang berproliferasi,
mikrovaskuler dan berbagai jenis sel radang. Pannus akan menghancurkan tulang
rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan
sendi yang akan mengganggu gerakan sendi. Otot akan turut terkena karena
serabut otot akan mengalami perubahan degenerative dengan menghilangnya
elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.
5. MANIFESTASI KLINIS
Kriteria dari American Rheumatism Association
(ARA) yang direvisi tahun 1987, adalah:
a.
Kaku pada pagi hari (morning stiffness)
Pasien
merasa kaku pada persendian dan disekitarnya sejak bangun tidur sampai
sekurang-kurangnya 1 jam sebelum perbaikan maksimal
b.
Artritis pada 3 daerah
Terjadi
pembengkakan jaringan lunak atau persendian (soft tissue welling) atau lebih
efusi, bukan pembesaran tulang (hyperostosis). Terjadi pada sekurang-kurangnya
3 sendi secara bersaman dalam observasi seorang dokter. Terdapat 14 persendian
yang memenuhi criteria, yaitu interfalang proksimal, metakarpofalang,
pergelangan tangan, siku, pergelangan kaki, dan metatarsofalang kiri dan kanan.
c.
Artritis pada persendian
tangan
Sekurang-kurangnya
terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti tertera diatas
d. Artritis
simetris
Maksudnya
keterlibatan sendi yang sama (tidak mutlak bersifat simetris) pada kedua sisi
secara serentak
e.
Nodul rheumatoid
Yaitu
nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah
jukstaartikular dalam observasi dokter
f.
Faktor rheumatoid serum
positif
Terdapat
titer abnormal faktor rheumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang
memberikan hasil positif kurang dari 5 % kelompok control
g.
Terdapat perubahan gambaran
radiologis yang khas
Gambaran
khas RA pada radiografi tangan dan pergelangan tangan. Diagnosis arthritis
rheumatoid ditegakkan sekurang-kurangnya terpenuhi 4 dari 7 kriteria di atas.
Kriteria 1 - 4 terdapat minimal selama 6 minggu.
Dalam
buku KMB vol 3 hal 1801 Smeltzer :
a.
Rasa nyeri, pembengkakan,
panas, eritema dan gangguan fungsi pada sendi yang terkena
b.
Palpasi sendi akan terasa
jaringan lunak seperti spon/busa
c.
Pola khas dimulai dari
sendi2 kecil pada tangan, pergelangan tangan dan kaki. Dengan semakin
berlanjutnya penyakit, sendi lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki,
vertebra servikalis dan sendi temporomandibuler.
d.
Gejala bilateral dn
simetris
e.
Awitan biasanya pagi hari
f.
Deformitas tangan dan kaki
karena immobilitas dalam waktu lama yang menyebabkan kontraktur
g.
Demam, penurunan BB, mudah
lelah, anemia, pembesan kelenjer limfe, dan fenomena Raynaud (vasospasme yang
ditimbulkan oleh cuaca dingin dan stress sehingga jari-jari menjadi pucat dan
sianosis.
6.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a.
Tes faktor reuma biasnya
positif pada > 75 % pasien AR
b.
Protein C-reaktif biasnya
positif
c.
LED meningkat
d.
Leukosit normal atau
meningkat sedikit
e.
Anemia normositik hipokrom
akibat adanya inflamasi kronik
f.
Trombosit meningkat
g.
Kadar albumin serum menurun
dan globulin naik
h.
Pada pemeriksaan rontgen
semua sendi dapat terkena, namun yang paling sering adalah sendi metatarsofalang
dn biasnya simetris.
7.KOMPLIKASI
Terjadinya penyakit Rheumatoid
Arthritis akan meningkatkan resiko timbulnya berbagai komplikasi
seperti :
a.
Osteoporosis
b.
Carpal Tunnel Syndrome
c.
Gangguan jantung
d.
Gangguan paru
8.PENATALAKSANAAN MEDIS
a.
Penatalaksaan Medis
1)
OAINS berupa aspirin
(dibawah 65 tahun dosis 3-4 x 1 gr/hari), Ibuprofen, naproksen, piroksikam,
diklofenak dsb.
2)
DMARD (disease modifying
antirheumatoid drugs) jika respon OAINS tidak baik. Seperti klorokuin,
sulfasalazin, D-penisilamin, garam emas, obat imunosupresif, kortikosteroid.
3)
Pembedahan (jika berbagai
cara pengobatan tidak berhasil)
b.
Rehabilitasi (untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien)
1)
Mengistirahatkan sendi yang
terlibat
2)
Modalitas terapi fisis
seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri melalui arus
listrik
3)
Pemakaian alat bidai,
tongkat, kursi roda, dll
4)
Alat ortotik protetik
5)
Occupational therapy
6)
Mengurangi rasa nyeri
7)
Mencegah terjadinya
kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
8)
Mencegah terjadinya atrofi
dan kelemahan otot
9)
Mencegah terjadinya
deformitas
10) Meningkatkan
rasa nyaman dan kepercayaan diri
11) Memperthankan
kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang lain
12) Memberikan
pendidikan kesehatan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang
akan dilakukan
KONSEP ASKEP
1.DIAGNOSA KEPERAWATAN
YANG MUNGKIN MUNCUL
a.
Nyeri akut/ kronis b/d
agen cedera biologis
b.
Hambatan mobilitas fisik
b/d gangguan muskuloskeletal
c.
Deficit derawatan diri b/d
ganghuan muskuloskeletal
d.
Kurang Pengetahuan b/d
keterbatasan kognitif
e.
Resiko infeksi b/dtrauma
2.INTERVENSI (RENCANA TINDAKAN)
NOC
|
NIC
|
Pain
level
1. Mampu
mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
2. Melaporkan
bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu
mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4. Menyatakan
rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
6. Tidak
mengalami gangguan tidur
|
Pain management
1. Lakukan
pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi
reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Bantu
pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
4. Kontrol
lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
6. Kaji
tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
7. Ajarkan
tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
8. Berikan
analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
9. Tingkatkan istirahat
10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
|
Mobility level
1. Klien
meningkat dalamaktivitasfisik.
2. Mengerti
tujuan dari peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan
perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
4. Memperagakan
penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
|
Exercise therapy :ambulation
1. Monitoring
vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
2. Konsultasikan
dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
3. Bantu
klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
4. Ajarkan
pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
6. Latih
pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
7. Dampingi
dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
8. Berikan
alat Bantu jika klien memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
|
Self
care : Activity of Daily Living (ADLs)
0. Menyatakan
kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan ADLs
1. Dapat melakukan ADLS dengan bantuan
|
Self
Care assistane : ADLs
1. Monitor
kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.
2. Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk
kebersihan diri, berpakaian, berhias, toileting dan makan.
3. Sediakan
bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan self-care.
4. Dorong
klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal sesuai kemampuan yang
dimiliki.
5. Dorong
untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya.
6. Ajarkan
klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya
jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
7. Berikan
aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
8. Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan
aktivitas sehari-hari.
|
Kowledge
: health Behavior
1. Pasien
dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan
program pengobatan
2. Pasien
dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
3. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
|
1. Kaji
tingkat pengetahuan pasien dan keluarga
2. Jelaskan
patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
3. Gambarkan
tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
4. Gambarkan
proses penyakit, dengan cara yang tepat
5. Identifikasi
kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat
6. Sediakan
informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
7. Sediakan
bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
8. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
9. Dukung
pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
10. Eksplorasi
kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yangtepat
|
Risk
control
1. Klien
bebas dari tanda dan gejala infeksi
2. Menunjukkan
kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
3. Jumlah leukosit dalam batas normal
4. Menunjukkan
perilakuhidup sehat.
5. Status imun,gastrointestinal, genitourinaria dalam
batas normal
|
1. Pertahankan
teknik aseptif
2. Batasi
pengunjung bila perlu
3. Cuci
tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
4. Gunakan
baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
5. Ganti
letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
6. Gunakan
kateter intermiten untuk menurunkan infeksi
7. Tingkatkan
intake nutrisi
8. Berikan terapi antibiotik
9. Monitor
tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
10. Pertahankan
teknik isolasi k/p
11. Inspeksi
kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
12. Monitor
adanya luka
13. Dorong
masukan cairan
14. Ajarkan
pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
15. Kaji
suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
|
DAFTAR PUSTAKA
Herdman,
Heather.2010. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran
Morhead,
Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). America : Mosby
Mc Closkey Dochterman, Joanne. 2004. Nursing
Interventions Classification (NIC). America : Mosby
Mansjoer,
arif. Dkk.2009, kapita selekta kedokteran . Jakarta. Media aesculapius
Anderson,
Sylvia Price. Pathofisiologi: Konsep Klinis proses-proses penyakit
edisi
6 volume II. ECG. Jakarta : 2006
1-NANDA PUSPA A. 1C RHEUMATOID ARTHRITIS